Langkah Yang Hampir Terhenti V

Isyarat Kecil

Melihat mendengar dan merasakan, itulah yang aku alami saat kulihat lagi sosok itu, melihat jari-jariku yang mulai bergetar, mendengar dan merasakan degup jantungku sendiri, benar-benar mukaku sudah seperti udang rebus saat Nia menyapaku. Selintas keanggunannya sebagai wanita membuatku tak bisa memungkiri apa yang aku rasakan…walau hanya “SELINTAS” , “hmmm…sudah jelas aku suka padanya” itu yang aku katakan dalam hatiku sendiri.

“Dari mana aja lo berdua, gua tidur lo pada kelayapan yee….” suara koh andi terdengar memecah keheningan yang sedang aku alami. “hhhhhhh….dasar…Ngagetin aja” suaraku dalam hati memaki koh Andi, “habis orang kita mau jalan-jalan situ tidurnya pules banget, ya kita tinggalin aja” istrinya menyahut sambil berjalan masuk kedalam rumah, diikuti Nia yang meninggalkan senyuman kepadaku..tanpa KATA-KATA.

Well, obrolan pun dilanjutkan…arah pembicaraan gonta-ganti sampai tak tahu arahnya kemana lagi..untung nggak pakai argo taxi. Kulihat kearah dalam rumah dari jendela, aku lihat Nia dan kakaknya asyik menonton TV…aku hanya melihat bagian belakang tubuhnya saja, itu sudah cukup aku syukuri karena bila kami saling berhadapan mungkin malah aku sudah pingsan. Sebentar lagi maghrib, aku mengingatkan kepada plontos agar kita segera kembali kerumahnya. “Udah mau maghrib nih” ujarku, dan dia pun setuju untuk segera pamit.

Aku berdiri dan bersiap untuk kembali, sambil berpamitan kepada koh Andi mataku tak bisa diam mencoba melihat apa reaksi wanita yang kukagumi ini….namun ternyata…dia masih asyik menonton TV. Kecewa pasti, apabila suatu yang kita harapkan tidak terjadi, itu juga yang aku alami saat ingin berpamitan. Aku berharap dia terbangun dan menuju keluar, tapi tidak. Segera kupakai sepatu dan menuju motorku, ku injak kick starter dua kali dan suaranya yang lantang memecah keheningan sore, plontos menghampiriku dan naik dibelakang.

Tanpa kuduga, kudengar suara panggilan dari dalam kepada kami….yah aku tahu Nia yang memanggil kami “eehhh udah pada mau pulang ya, maaf tadi Nia ngga tahu, hati-hati ya mas” teriaknya. kata-kata teakhirnya agar kami berhati-hati cukup membuatku mengatakan “WOW” dalam hati….membuatku sangat senang walau itu hanya kata-kata biasa yang juga sering kudengar, yah benar setiap pagi ibuku mengatakannya saat aku mau berangkat kerja. Sekali lagi…aku anak yang tak berbakti, kudengar kata-kata yang sama dan biasa dikatakan ibuku dari wanita yang kukagumi dalam hati aku merasa “ternyata ada perhatian yang kau beri”, tapi saat ibuku yang mengatakannya tak ada sesuatupun yang kurasakan, padahal jelas dengan tulus ibuku mengatakannya..bukan basa-basi.

Langkah Yang Hampir Terhenti IV

The Second Meet

Hari itu, jum’at 20 juli 2007 kira-kira setelah sholat jum’at aku tiba dirumah si plontos, sebelumnya dia sudah menelponku agar bisa datang. “Kita kerumah Mursid yuk” sambut plontos ketika aku tiba, “mursid siapa?” tanyaku, lalu dengan santai dia menjawab “temen gue, ada obyekan nih”, “oke lah, jam berapa?” jawabku mengiyakan sambil bertanya, “ya sekarang” jawab si plontos.

Langsung saja aku menyalakan sepada motorku lalu kutancap gas dengan si plontos membonceng bersamaku, kira-kira satu jam perjalanan akhirnya kami tiba dirumah mursid, tempatnya jauh dipelosok dan jarak antara rumah dengan para tetangga cukup jauh. “Jadi inget dijogja” gumamku mengingat tanah kelahiranku 23 tahun yang lalu. Setelah beberapa kali mengucap salam dan tak ada seorangpun yang membalas kami pun memutuskan untuk mencari wartel dan menelepon mursid. Selang dua menit kemudian plontos keluar dari wartel, “gimana dan?” tanyaku, “mursid lagi dicileungsi, katanya habis maghrib aja kita kesini lagi” jawab si plontos. Apa boleh buat kami pun segera meluncur kembali kerumah si plontos karena dirumah mursid sama sekali tidak ada orang.

Kira-kira pukul tiga sore kami sampai dirumah plontos, sebotol air putih dan dua buah gelas diambil si plontos untuk menemani kami mengobrol. Setengah jam berlalu dan kemudian kudengar plontos berkata “kita kerumah koh Andi yuk?”, “ngapain?” balasku, ” katanya ada obyekan disana, ya sambil nungguin maghrib daripada bengong ngga jelas disini” jawab si plontos, “wah sorry, gue janjian sama si chess (salah seorang teman kantorku) mau maen billiard, dia nungguin di deket dealer depan” jawabku berusaha menghindar. “Yah elo..ntar ngga jadi kerumah mursid donk, tolongin gue kenapa..kalo ngga kerumah mursid ya ke rumah koh andi deh, minimal ada yang nyangkut kek” dengan nada memohon plontos pun berusaha meyakinkan aku, “tapi gimana donk, gue udah janjian ama si chess” jawabku berusaha menghindar padahal aku hanya malu apabila harus bertemu Nia dirumah koh andi. “Tolongin gue deh, kali ini aja..” plontos terus mendesak dan memelas, “ok lah, gini aja..gue coba ke dealer depan, kalo chess ada ya gue maen billiard tapi kalo ngga ada gue temenin elo deh” sungguh plontos sudah berhasil meluluhkan hatiku dengan rengekannya. “Oke lah, tapi janji ya lo balik lagi kalo chess ngga ada” tanya plontos meyakinkan aku tidak berbohong, ” iya..gue janji kalo chess ngga ada gue balik lagi, gua jalan dulu ya” jawabku dan langsung aku bergegas.

Setibanya didealer tak kulihat sedikitpun batang hidung si chess, aku coba masuk kedalam dan bertanya pada salah seorang customer service yang aku kenal, “liat si chess ngga len?” tanyaku, “tadi kesini cari mas..tapi leni bilang mas pergi..terus dia jadi ikutan pergi juga” jawab leni, gadis cantik asal palembang ini juga memikat..kecantikan dan kesederhanaannya sempat membuatku pernah mencoba mendekatinya, namun karena kawan baikku Mr. X jatuh hati padanya ya sudahlah, lagipula aku menemukan Nia..mm mungkin lebih tepat kalau Nia yang menemukanku.

Andai saja bisa kuulang janjiku pada plontos, dengan jengkel dan perasaan yang tak menentu aku kembali kerumah plontos. “Apa boleh buat lah..udah terlanjur janji” gumamku, kulihat plontos tersenyum lebar layaknya atlet yang baru saja memboyong emas olympiade. “Kita kerumah koh andi yuk, nanti keburu sore” jawabnya menyambut kedatanganku, ” ayo lah” jawabku lemas sambil memikirkan apa yang akan terjadi nanti. Sepuluh menit kemudian kami sudah berada di depan rumah koh andi, pintu tertutup dan terkunci dan sepi sekali. “Ngga ada orang kek” harapan yang terlintas dari dalam hatiku, namun terdengar dengkuran keras dari dalam rumah, sepertinya koh andi memang sedang tidur.

Setelah beberapa kali mngetuk pintu, akhirnya koh andi pun terbangun dan membuka pintu. “eh..elo, duduk deh..sebentar ya gue ambilin minum, pada diluar ngga apa-apa kan? didalem masih berantakan” koh andi menyambut kami, “ngga apa-apa, jadi ngerepotin elo nih” jawab si plontos, “sepi amat..pada kemana?” tanya si plontos memulai pembicaraan, “ngga tau tuh, tadi sih ada bini gue ama si Nia..soalnya warung gue kan tutup seharian, sial..gue tidur malah pada pergi” jawab koh andi kesal sambil membawa minuman.

Aku hanya diam menunggu waktu berlalu, hanya mendengarkan percakapan si plontos dan koh andi walaupun sebenarnya aku tak begitu menangkap apa yang mereka bicarakan. Aku hanya memikirkan perasaanku sendiri saja, berharap-harap cemas menunggu saat itu terjadi, saat dimana aku akan bertemu dengan Nia, “semoga saja mereka pulang setelah maghrib” harapku.

Selang setengah jam dari saat kedatanganku akhirnya kulihat seorang wanita berkulit hitam manis berjalan menuju rumah koh andi, sambil tersenyum menyapa tetangga iya berjalan perlahan. Aku ingat siapa dia, dia adalah istri koh andi dan sekaligus kakak kandung Nia, aku pernah bertemu dengannya sekali saat pertamakali aku datang kerumah ini dan berkenalan dengan koh andi, namun aku tak bertemu Nia saat itu. Tak lama Nia pun juga terlihat, satu bulan aku tak bertemu dengannya namun tak sedikitpun aku lupa dengan wajahnya. Bagaimana mungkin aku bisa lupa, satu kali saat bertemu didalam pasar sudah cukup membuatku dihantui wajahnya. “Oh my God” gumamku,
kembali kudengar degup jantungku yang semakin cepat, aku hanya bisa tertunduk dan membalas salamnya dengan lirih saat dia mengucap salam dan berjalan memasuki rumah. “Ya Allah, kau menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk”.

BERSAMBUNG…

Langkah Yang Hampir Terhenti III

The Three Musketeers

Selalu kuhabiskan waktuku bekerja dengan dua orang temanku ini,  kusebut mereka “Mbah Darmo dan Mr. X” . Agak konyol memang, karena nama itu aku ambil dari sebuah acara humor disalah satu stasiun TV swasta, namun itu tidak lebih konyol dari apa yang sering kami bertiga lakukan. Merekalah yang bisa membuatku merasa sedikit lebih betah menjalani pekerjaanku.

Kami bertiga kadang berkumpul di rumah si plontos, menghabiskan waktu sore disana sampai larut malam, kadang juga berkumpul di rumah Mr. X bermain gitar dan keyboard bersama Heny, salah seorang teman kami dan satu-satunya wanita. Mr. X adalah orang yang pertama mengundurkan diri dari kantor, namun kami tetap saja selalu bersama. Biasanya aku selalu bersama mbah Darmo dan Mr. X bila menuju rumah si plontos, tapi berhubung Mr. X sedang sibuk mencari pekerjaan baru, aku hanya sendiri saja menuju rumah plontos, sedangkan mbah Darmo akhir-akhir ini agak sibuk dengan pekerjaannya.

“Dari kantor om??” sapa seorang wanita berumur 30an saat aku tiba dirumah si plontos, dia adalah istri si plontos yang memang sering ikut nimbrung bila kami berkumpul. “iya” jawabku singkat, “komandan mana mpok?” tanyaku dengan sapaan khas betawi, meskipun istri si plontos bukanlah orang betawi namun dia kan istri seorang betawi, lagipula dia juga sudah lama tinggal disini, pikirku singkat bila ada yang bertanya kenapa dia kupanggil mpok.

Tak lama berselang Plontos muncul dengan muka yang sedikit basah, habis sholat Ashar rupanya. Plontos memang seorang muslim yang taat walaupun mungkin dia sedikit urakan untuk ukuran orang seumurnya, memang terlihat beda bila kita melihat sebuah keluarga yang taat beribadah, mereka selalu terlihat ceria walaupun kebutuhan hidup sedemikian mendera. Satu pelajaran berharga yang kudapat“Rajinlah sholat bila tak bisa  jadi orang kaya”.

“Sms lo kemarin udah gue sampein” kata si plontos mengawali pembicaraan,  “terus..gimana??” tanyaku penasaran, “ya dia nanya nama lo, terus lo tu apanya gue” jawab si plontos, “masa sih??” jawabku menimpali dengan nada setengah tak percaya, “ya tadinya dia juga nggak percaya kalo lo titip salam buat dia, daripada begitu ya gue tunjukin aja sms lo ke dia, baru dia percaya” jawabnya ringan tanpa tahu kebodohan apa yang telah dia lakukan.

Rasa lemas menjalar melalui seluruh jaringan otot yang ada di tubuhku, dimulai dari kaki, dengkul, terus keatas hingga rasanya sanggup menghilangkan nafsu makan, mungkin cocok untuk orang yang sedang diet. Pelajaran kedua yang kudapat adalah “titiplah salam untuk seseorang lewat si plontos bila kau ingin menurunkan berat badan”.

Naluriku untuk mendekati Nia seolah hilang begitu saja, walaupun si plontos berulangkali mengajakku mendatangi rumah koh Andi aku selalu menolak, entah mengapa rasa malu begitu besar kurasakan bila aku harus bertemu Nia, “ini bukan aku” itu yang selalu kukatakan pada diriku sendiri untuk mengusir rasa itu, namun tetap saja tidak hilang. Satu bulan berlalu setelah pertemuan pertamaku dengan Nia, rasa malu akibat Nia sudah membaca smsku pada si plontos belum juga hilang, istri si plontos berulang kali berkata “kalau emang suka, deketin dong om” katanya  berusaha membujuk, “mana enak kalau mau PDKT udah ketahuan” jawaban ketus meluncur dalam hatiku meskipun senyum terkembang dibibirku.

Untunglah The Three Musketeer masih sering berkumpul, Mr. X aku anggap sebagai Athos, mbah Darmo lebih mirip Porthos karena dia yang paling gemuk diantara kami, sedangkan aku biarlah Aramis sebagai perwakilanku karena dia karakter yang paling tampan, sedangkan si plontos ya sebagai d’Artagnan walaupun d’Artagnan yang asli tidak plontos.  Selama satu bulan lamanya aku lewatkan hari-hariku bersama mbah Darmo dan Mr. X, daripada harus memikirkan Nia dan ulah si plontos lebih baik aku menghabiskan waktu dengan bermain gitar dengan mereka. Biasa lah anak muda, menyanyi yang nggak jelas, “biar sumbang yang penting senang” itulah paham yang kami anut dan kami yakini sampai sekarang.

Setelah kurang lebih satu bulan aku menghindar bila si plontos mengajakku kerumah koh Andi, akhirnya saat itu datang juga, saat dimana aku tak bisa menolak ajakan si plontos.

BERSAMBUNG…


Langkah Yang Hampir Terhenti II

Sayang Yang Tak Pernah Hilang

Kutarik nafas panjang sesampainya aku dirumah, lelah hari ini membuat seluruh tubuhku bagai remuk. Namun wajah Nia yang selalu membayangi pikiranku membuat aku lupa pada letihku sendiri. “Koq baru pulang le” teriak seorang wanita setengah baya dari dalam rumah. Ya dia ibuku, orang yang selalu mengkhawatirkanku setiap kali aku pulang lewat dari biasa, ia selalu memanggilku dengan sebutan “le” pangilan untuk anak laki-laki dalam bahasa jawa. “Iya, habis dari rumah temen” jawabku, “mau makan nggak?” tanya ibuku lagi, “akh..dasar anak tunggal” gumamku, selalu saja sangat diperhatikan, “nggak ah, aku udah makan diluar tadi..kalau ibu sudah ngantuk tidur saja” jawabku.

Malam semakin larut, sambil merebahkan diri di kasur tua yang ada dikamarku, aku masih larut dalam lamunan akan sosok Nia. Gadis yang tadi sore kukenal itu telah mencuri perhatianku, “sayang ngga punya HP tuh anak” gumamku, teringat sore tadi saat kutanyakan nomor HPnya pada si plontos. “Akh..kenapa ngga titip salam aja lewat komandan” pikirku, langsung saja ku ambil HPku dan kutulis sebaris kalimat “Dan, besok kalo lo ke tempat si engkoh terus ketemu Nia disana..bilang salam dari gue ya” lalu segera kukirimkan pesan singkat tersebut pada si plontos.

Rutinitas yang membosankan sudah menghadangku bahkan sebelum sempat kutersadar sepenuhnya dari mimpi. Pagi-pagi benar ibuku sudah mengetuk pintu kamarku mengingatkanku untuk segera bersiap untuk berangkat kekantor. Segelas Teh hangat sudah tersedia dimeja makan, pakaianku sudah tersedia di tepian tempat tidurku. “Baik benar orangtuaku” itu pasti yang terpikirkan orang bila tahu akan hal itu, padahal aku sendiri tak pernah menyadarinya. Hanya bisa meminta, dan marah bila ibuku salah tanpa pernah memikirkan untuk membuatnya bahagia.

Orang bilang, kasih anak sepanjang galah kasih ibu sepanjang jalan. Itu nyata tejadi, tak usah kulihat orang lain, aku sendiripun tak berbakti pada orangtuaku. Kenapa jauh kucari kasih sayang, sedangkan kasih ibuku adalah  ungkapan sayang yang tak pernah hilang.

Kupacu sepeda motorku menuju tempatku bekerja, laporan-laporan yang dari kemarin sudah kusiapkan segera kuserahkan pada atasanku. Segala macam petuah dan amarah atasanku sudah mulai kudengar lagi, rutin memang..jadi aku sudah tak hiraukan, toh aku sudah hafal semuanya. Sebenarnya ibuku sudah menyuruhku untuk mencari pekerjaan lain, tapi tak mudah mencari pekerjaan dijaman sekarang. Aku sendiri juga sudah muak, pekerjaan yang tak ada habisnya, gaji kecil, belum lagi rekan kerja yang menjengkelkan. Tapi aku berusaha bertahan walau hatiku sudah tak nyaman.

BERSAMBUNG…

Langkah Yang Hampir Terhenti I

In The Beginning

Nia, seorang gadis asal jawa tengah yang kutemui disebuah lorong gelap dan agak becek, hiruk-pikuk orang yang sibuk berlalu-lalang seakan hilang dari pandanganku ketika kali pertama kulihat senyumannya. “Sore yang indah” kata hatiku, karena baru kali ini aku bisa tertarik pada seorang gadis setelah 2 tahun lamanya kupendam kepedihan saat kutinggalkan cintaku pada seorang gadis tionghoa asal tangerang.

Kulitnya yang putih bersih, rambut hitam, dan….tentu saja senyumnya!!! kontras sekali dengan kondisi pasar yang gelap, sumpek dan penuh dengan riuh para lelaki yang mondar-mandir memanggul barang. Hitam, berkeringat dan juga kotor, mungkin itu cocok dengan bayangan para kuli pasar yang bekerja disana setiap hari. Tapi semua itu bisa terhapus oleh kehadiran Nia, seorang gadis yang membuatku betah berlama-lama disana, padahal sebelumnya tak pernah sedikitpun aku mau menginjakan kaki ditempat becek tersebut.

“Eh..Ada si Om” sapa Nia pada temanku yang memaksaku mendatangi sebuah toko tempat Nia bekerja, “SINAR BERKAH” sebuah toko kelontong milik pria gendut keturunan tionghoa, adalah tempat Nia bekerja sehari-harinya. “Sendirian lo?” tanya temanku yang datang bersamaku, kepala plontos dan senyum lucunya selalu mewarnai wajahnya yang polos. Pria beranak dua dan pengagum berat Rhoma Irama ini memang seorang negosiator tulen, kemampuan bicaranya bahkan melebihi para diplomat ulung yang setiap hari duduk dimeja debat. Bahkan akupun selalu memanggilanya dengan “Komandan”, sekalipun dia tak pernah memimpin perang.

“si Engkoh mana?” tanyanya lagi, panggilan khas untuk pria tionghoa ini memang ditujukan untuk Koh Andi si pemilik toko “SINAR BERKAH” yang notabene adalah kakak ipar Nia. “Tadi sih ada, tapi udah pulang dari jam dua” jawab Nia. Tak berani sedikitpun aku memandang wajahnya, bibirnya yang menari indah saat dia bicara membuat hatiku berdebar kencang, “Om sama siapa?” tanya Nia lagi pada temanku si plontos, degup jantungku seakan tiba-tiba berhenti karena aku tahu dia menanyakanku. “Oh, ini temen gue” jawab si plontos santai sambil memainkan segenggam beras dengan tangan kanannya sambil terus bercerita, tanpa tahu kawannya hampir mati lemas menahan kekaguman pada gadis yang sedang dia ajak bicara.

“Dan!! pulang yuk..udah sore nih, yang kita cari kan ngga ada” kataku berusaha mengakhiri percakapan mereka. “Ya udah lah, kita balik aja deh” kata si plontos sambil berpamitan dengan Nia. “Syukurlah penderitaanku berakhir” bisikku, tak tahulah apakah Nia tahu kalau selama dia bicara dengan si plontos aku selalu mencuri-curi pandangan. Aku hanya berusaha mengatur nafas sepanjang perjalananku dilorong sempit pasar menuju tempat motorku kuparkir.

Kuantar komandanku kerumahnya, dan setibanya disana langsung kupesan minuman ringan di warung kecil depan rumahnya. “kenapa lo??” tanya si plontos kepadaku, “tumben ada cewek cakep lo diem aja?” lanjutnya lagi berusaha mencari tahu tingkahku yang mungkin terlihat aneh saat bertemu Nia. “ngga apa-apa, lagi males aja..capek gue, kerjaan numpuk” kataku berusaha menghindar.

Tapi si plontos bukanlah anak kecil yang mudah dibohongi, dia tahu kalau aku tertarik dengan Nia, “cewek tadi cakep kan??” dia mulai gamblang bertanya, “namanya siapa dan?” aku balik bertanya, “namanya Nia, adiknya koh Andi”. Itulah awal diriku mengenal Nia, gadis yang membuatku berubah dari seorang oportunis yang selalu berusaha menaklukan hati wanita lalu pergi karena aku hanya menjajal kemampuanku, menjadi seorang pria yang sungguh-sungguh menyukai seorang gadis bagai anak puber kemarin sore yang baru mengalami cinta pertama.

BERSAMBUNG...