Langkah Yang Hampir Terhenti I

In The Beginning

Nia, seorang gadis asal jawa tengah yang kutemui disebuah lorong gelap dan agak becek, hiruk-pikuk orang yang sibuk berlalu-lalang seakan hilang dari pandanganku ketika kali pertama kulihat senyumannya. “Sore yang indah” kata hatiku, karena baru kali ini aku bisa tertarik pada seorang gadis setelah 2 tahun lamanya kupendam kepedihan saat kutinggalkan cintaku pada seorang gadis tionghoa asal tangerang.

Kulitnya yang putih bersih, rambut hitam, dan….tentu saja senyumnya!!! kontras sekali dengan kondisi pasar yang gelap, sumpek dan penuh dengan riuh para lelaki yang mondar-mandir memanggul barang. Hitam, berkeringat dan juga kotor, mungkin itu cocok dengan bayangan para kuli pasar yang bekerja disana setiap hari. Tapi semua itu bisa terhapus oleh kehadiran Nia, seorang gadis yang membuatku betah berlama-lama disana, padahal sebelumnya tak pernah sedikitpun aku mau menginjakan kaki ditempat becek tersebut.

“Eh..Ada si Om” sapa Nia pada temanku yang memaksaku mendatangi sebuah toko tempat Nia bekerja, “SINAR BERKAH” sebuah toko kelontong milik pria gendut keturunan tionghoa, adalah tempat Nia bekerja sehari-harinya. “Sendirian lo?” tanya temanku yang datang bersamaku, kepala plontos dan senyum lucunya selalu mewarnai wajahnya yang polos. Pria beranak dua dan pengagum berat Rhoma Irama ini memang seorang negosiator tulen, kemampuan bicaranya bahkan melebihi para diplomat ulung yang setiap hari duduk dimeja debat. Bahkan akupun selalu memanggilanya dengan “Komandan”, sekalipun dia tak pernah memimpin perang.

“si Engkoh mana?” tanyanya lagi, panggilan khas untuk pria tionghoa ini memang ditujukan untuk Koh Andi si pemilik toko “SINAR BERKAH” yang notabene adalah kakak ipar Nia. “Tadi sih ada, tapi udah pulang dari jam dua” jawab Nia. Tak berani sedikitpun aku memandang wajahnya, bibirnya yang menari indah saat dia bicara membuat hatiku berdebar kencang, “Om sama siapa?” tanya Nia lagi pada temanku si plontos, degup jantungku seakan tiba-tiba berhenti karena aku tahu dia menanyakanku. “Oh, ini temen gue” jawab si plontos santai sambil memainkan segenggam beras dengan tangan kanannya sambil terus bercerita, tanpa tahu kawannya hampir mati lemas menahan kekaguman pada gadis yang sedang dia ajak bicara.

“Dan!! pulang yuk..udah sore nih, yang kita cari kan ngga ada” kataku berusaha mengakhiri percakapan mereka. “Ya udah lah, kita balik aja deh” kata si plontos sambil berpamitan dengan Nia. “Syukurlah penderitaanku berakhir” bisikku, tak tahulah apakah Nia tahu kalau selama dia bicara dengan si plontos aku selalu mencuri-curi pandangan. Aku hanya berusaha mengatur nafas sepanjang perjalananku dilorong sempit pasar menuju tempat motorku kuparkir.

Kuantar komandanku kerumahnya, dan setibanya disana langsung kupesan minuman ringan di warung kecil depan rumahnya. “kenapa lo??” tanya si plontos kepadaku, “tumben ada cewek cakep lo diem aja?” lanjutnya lagi berusaha mencari tahu tingkahku yang mungkin terlihat aneh saat bertemu Nia. “ngga apa-apa, lagi males aja..capek gue, kerjaan numpuk” kataku berusaha menghindar.

Tapi si plontos bukanlah anak kecil yang mudah dibohongi, dia tahu kalau aku tertarik dengan Nia, “cewek tadi cakep kan??” dia mulai gamblang bertanya, “namanya siapa dan?” aku balik bertanya, “namanya Nia, adiknya koh Andi”. Itulah awal diriku mengenal Nia, gadis yang membuatku berubah dari seorang oportunis yang selalu berusaha menaklukan hati wanita lalu pergi karena aku hanya menjajal kemampuanku, menjadi seorang pria yang sungguh-sungguh menyukai seorang gadis bagai anak puber kemarin sore yang baru mengalami cinta pertama.

BERSAMBUNG...