Langkah Yang Hampir Terhenti III

The Three Musketeers

Selalu kuhabiskan waktuku bekerja dengan dua orang temanku ini,  kusebut mereka “Mbah Darmo dan Mr. X” . Agak konyol memang, karena nama itu aku ambil dari sebuah acara humor disalah satu stasiun TV swasta, namun itu tidak lebih konyol dari apa yang sering kami bertiga lakukan. Merekalah yang bisa membuatku merasa sedikit lebih betah menjalani pekerjaanku.

Kami bertiga kadang berkumpul di rumah si plontos, menghabiskan waktu sore disana sampai larut malam, kadang juga berkumpul di rumah Mr. X bermain gitar dan keyboard bersama Heny, salah seorang teman kami dan satu-satunya wanita. Mr. X adalah orang yang pertama mengundurkan diri dari kantor, namun kami tetap saja selalu bersama. Biasanya aku selalu bersama mbah Darmo dan Mr. X bila menuju rumah si plontos, tapi berhubung Mr. X sedang sibuk mencari pekerjaan baru, aku hanya sendiri saja menuju rumah plontos, sedangkan mbah Darmo akhir-akhir ini agak sibuk dengan pekerjaannya.

“Dari kantor om??” sapa seorang wanita berumur 30an saat aku tiba dirumah si plontos, dia adalah istri si plontos yang memang sering ikut nimbrung bila kami berkumpul. “iya” jawabku singkat, “komandan mana mpok?” tanyaku dengan sapaan khas betawi, meskipun istri si plontos bukanlah orang betawi namun dia kan istri seorang betawi, lagipula dia juga sudah lama tinggal disini, pikirku singkat bila ada yang bertanya kenapa dia kupanggil mpok.

Tak lama berselang Plontos muncul dengan muka yang sedikit basah, habis sholat Ashar rupanya. Plontos memang seorang muslim yang taat walaupun mungkin dia sedikit urakan untuk ukuran orang seumurnya, memang terlihat beda bila kita melihat sebuah keluarga yang taat beribadah, mereka selalu terlihat ceria walaupun kebutuhan hidup sedemikian mendera. Satu pelajaran berharga yang kudapat“Rajinlah sholat bila tak bisa  jadi orang kaya”.

“Sms lo kemarin udah gue sampein” kata si plontos mengawali pembicaraan,  “terus..gimana??” tanyaku penasaran, “ya dia nanya nama lo, terus lo tu apanya gue” jawab si plontos, “masa sih??” jawabku menimpali dengan nada setengah tak percaya, “ya tadinya dia juga nggak percaya kalo lo titip salam buat dia, daripada begitu ya gue tunjukin aja sms lo ke dia, baru dia percaya” jawabnya ringan tanpa tahu kebodohan apa yang telah dia lakukan.

Rasa lemas menjalar melalui seluruh jaringan otot yang ada di tubuhku, dimulai dari kaki, dengkul, terus keatas hingga rasanya sanggup menghilangkan nafsu makan, mungkin cocok untuk orang yang sedang diet. Pelajaran kedua yang kudapat adalah “titiplah salam untuk seseorang lewat si plontos bila kau ingin menurunkan berat badan”.

Naluriku untuk mendekati Nia seolah hilang begitu saja, walaupun si plontos berulangkali mengajakku mendatangi rumah koh Andi aku selalu menolak, entah mengapa rasa malu begitu besar kurasakan bila aku harus bertemu Nia, “ini bukan aku” itu yang selalu kukatakan pada diriku sendiri untuk mengusir rasa itu, namun tetap saja tidak hilang. Satu bulan berlalu setelah pertemuan pertamaku dengan Nia, rasa malu akibat Nia sudah membaca smsku pada si plontos belum juga hilang, istri si plontos berulang kali berkata “kalau emang suka, deketin dong om” katanya  berusaha membujuk, “mana enak kalau mau PDKT udah ketahuan” jawaban ketus meluncur dalam hatiku meskipun senyum terkembang dibibirku.

Untunglah The Three Musketeer masih sering berkumpul, Mr. X aku anggap sebagai Athos, mbah Darmo lebih mirip Porthos karena dia yang paling gemuk diantara kami, sedangkan aku biarlah Aramis sebagai perwakilanku karena dia karakter yang paling tampan, sedangkan si plontos ya sebagai d’Artagnan walaupun d’Artagnan yang asli tidak plontos.  Selama satu bulan lamanya aku lewatkan hari-hariku bersama mbah Darmo dan Mr. X, daripada harus memikirkan Nia dan ulah si plontos lebih baik aku menghabiskan waktu dengan bermain gitar dengan mereka. Biasa lah anak muda, menyanyi yang nggak jelas, “biar sumbang yang penting senang” itulah paham yang kami anut dan kami yakini sampai sekarang.

Setelah kurang lebih satu bulan aku menghindar bila si plontos mengajakku kerumah koh Andi, akhirnya saat itu datang juga, saat dimana aku tak bisa menolak ajakan si plontos.

BERSAMBUNG…